the horror of his life, the ectasy of his life.

Ion

a simple "get to know" of
Harion Bumanthara by VICE.

 Do you really expect a seed from a rotten apple to grow into something good?  

carrd template by solarsources

CONDUCT.

basics.
name:   Harion Putra Bumanthara
alias:   Ion, The Janus
age:   32
location:   Jakarta


physical.
height:   178cm
hair color:   Black
eye color:   Black
notable features:   The scar under his chin


mental.
moral alignment:   Chaotic neutral
myers-briggs:   INTJ
temperament:   Choleric
enneagram:   Active Controller, Quiet Specialist

DOSSIER.

biography.
Ion dilahirkan bukan untuk diberi pilihan. Ia dilahirkan untuk melanjutkan.
Lahir sebagai Harion Putra Bumanthara di bulan Juli tahun 1993, menjadi putra sulung dari pasangan Bagas Bumanthara dan Helena Suryawijaya. Bagas bukanlah ayah yang biasa. Ia bukan ayah yang menjemput saat pulang sekolah atau yang membacakan dongeng pengantar tidur. Ia adalah pendiri perusahaan farmasi yang hidup dalam obsesi terhadap kekuasaan, pria yang percaya bahwa kelembutan adalah bentuk pengkhianatan.
Bagas adalah anak kedua dari lima bersaudara yang tumbuh dengan kasih sayang dan fasilitas yang merata, tapi memilih merasa terpinggirkan. Ia melihat keadilan sebagai pengkhianatan terhadap potensinya.
Maka ketika ia tidak mendapatkan posisi puncak di perusahaan keluarga, ia membangun perusahaannya sendiri—dan membesarkan putranya sebagai alat untuk membalaskan ambisinya.
Sejak Ion bisa membaca, ia sudah diajarkan untuk membaca laporan keuangan harian saat sarapan pagi di meja makan. Sejak ia bisa berbicara, ia sudah dilatih untuk berkata sesuai naskah. Ia tidak pernah diajak bicara sebagai anak, melainkan sebagai atasan dan bawahan. Ia hanya diberi instruksi. Senyum harus lembut. Suara tidak boleh tinggi.
Tidak pernah ada pertanyaan tentang sekolah mana yang ingin ia tuju, baju apa yang ingin ia kenakan, atau siapa yang boleh menjadi temannya. Semuanya sudah ditentukan. Bahkan masa depannya pun ditulis sebelum ia bisa menyebut namanya sendiri.
Ketika remaja lain sibuk menulis surat cinta atau berkelana di kanal dunia maya, Ion menyusun presentasi merger fiktif untuk Papanya. Ketika yang lain belajar menari di pesta seni tahun akhir di sekolah, Ion belajar bagaimana mengunci ekspresi agar investor tidak bisa membaca ragu di wajahnya.
Dan Ion melakukan semuanya dengan senyum. Salah satu kalimat pertama yang ia ingat dari ayahnya:
“Kalau kamu ingin hidup bebas, jadilah orang yang paling berkuasa. Kalau tidak, patuhlah.”
Menghabiskan masa kecil dan remajanya di Indonesia, Ion lalu dikirim untuk mengambil S1 Farmasi di Belanda, kemudian melanjutkan S2 Bisnis di MIT, sesuai perintah sang Papa. Di sanalah ia mulai bernapas, sedikit. Selama itu pula ia bertemu dengan beberapa kawan dekatnya.
Namun kebebasan hanya membuka rasa lapar yang lebih besar.
Setelah menyelesaikan studi sarjananya dengan sempurna, ia melanjutkan ke MIT, mengincar gelar master untuk jurusan bisnis, mengikuti keinginan papanya, tapi juga untuk mempelajari medan perang sesungguhnya: kekuasaan korporat global.
Di kampus inilah Ion mulai membangun relasi lintas benua, dari investor legal hingga penyelundup bahan aktif dari Asia Timur. Ia mulai menyusun rencananya sendiri. Ia belajar diam-diam soal pasar gelap, membaca kebocoran distribusi bahan aktif, dan mencari jalur logistik alternatif.
Pulang ke Indonesia pada usia 24, Ion langsung duduk di kursi COO perusahaan farmasi milik Bagas.
Wajahnya muncul di media. Sorot matanya tenang. Wawancaranya terdengar penuh kepastian.
Karyawan menyukainya. Investor memujinya. Pesaing menghormatinya. Sahabat bisnis menyebutnya sebagai “pria muda paling menjanjikan di generasinya.”
Padahal, tak satu pun dari mereka tahu bahwa ia tidak puas.
Ion tidak pernah puas.
Kursi CEO masih diduduki Bagas, sang Papa. Dan selama tahta itu belum berpindah ke tangannya, Ion merasa tidak akan bisa bernapas dengan utuh.
Ia mencoba menahan ambisinya. Mencoba meyakinkan diri bahwa ini semua bisa dijalani perlahan.
Tapi darahnya sudah tercemar terlalu dalam oleh warisan ambisi dari sang Papa.
Ia lapar. Rakus. Tak bisa berhenti.
Dunia legal adalah warisan, dan itu tidak cukup memberinya ruang gerak. Ion lalu merambat ke pasar gelap, dunia ilegal yang menjadi pilihan pertamanya dalam hidup. Dunia yang bisa ia kendalikan sepenuhnya. Dunia di mana papanya tidak punya peta.
Ion memutuskan: jika ia harus bertarung, ia akan gunakan dua tangan—yang satu bersih, yang satu tak terlihat.
Tapi meski semua tentang Ion terasa seperti mesin yang diciptakan untuk merebut kendali, ada satu ruang kecil yang tetap ia jaga tetap manusiawi: ruang itu bernama Banyu.
Jarak tiga tahun membuat Banyu lahir di momen di mana kekuasaan dan semua kontrol sang Papa sudah diarahkan ke Ion. Maka, Banyu tumbuh seperti anak biasa—bebas, keras kepala, hangat, dan tidak tertarik pada bisnis keluarga.
Banyu bisa memilih bajunya sendiri.
Ia bisa memilih sekolah dan universitasnya.
Ia bisa pulang larut malam tanpa dimarahi.
Ia bahkan bisa kabur dan membuat bisnisnya sendiri.
Dan semua itu terjadi karena Ion yang menyerap semua atensi sang Papa.
Anehnya, Ion tidak pernah marah. Ia sengaja menjadi anak ideal:
Nilai sempurna. Lulusan luar negeri. Wajah tenang dan selalu sopan.
Supaya sang Papa tidak merasa perlu “mendidik ulang” adiknya.
Ion tahu apa artinya dibesarkan tanpa ruang napas. Ia tidak ingin Banyu mengalami hal yang sama.
Bagi Ion, hidup adalah medan perang yang tidak semua orang harus ikut tempur. Ia memilih dirinya sendiri sebagai perisai sang adik.
Ion menyayangi adiknya. Tapi ia tidak pernah bilang.
Ia menunjukkan kasihnya dengan cara yang tak bisa dilihat dari permukaan.
Di hadapan sang Papa, Ion selalu terlihat tenang, patuh, penuh takzim. Seperti siswa paling rajin dalam biara kekuasaan. Ia tidak pernah membantah. Tidak pernah terlihat marah. Tidak pernah membangkang.
Tapi jauh di dalam hatinya, Ion sudah bersumpah.
Bukan untuk bebas.
Tapi untuk mengambil tahta.
Untuk semua itu, ia sedang menyusun kejatuhan ayahnya sendiri.
Karena hanya yang berdiri paling tinggi yang bisa mengusir bayangan itu dari hidupnya.
Orang sering melihat Ion sebagai pria muda sempurna—pintar, tenang, ramah, lembut, sabar, selalu datang ke acara keluarga, selalu tepat waktu.
Ia berbicara lambat, penuh empati.
Ia tahu cara membuat lawan bicara merasa penting, bahkan saat mereka sedang ia kalahkan secara strategi.
Ia memeluk sahabat, menjabat musuh, dan memberi senyum pada siapa pun yang ia rencanakan untuk dilangkahi.
Ia bukan pria yang ingin dilihat sebagai pemimpin besar.
Ia ingin dilihat sebagai pemimpin yang tidak mungkin dijatuhkan.
Tapi jauh di dalam hatinya, ada luka yang tak bisa dihapus oleh cinta.
Ia tumbuh menjadi pria yang tahu cara mencintai... tapi tidak tahu bagaimana dicintai.
Ia terbiasa dilihat sebagai harapan, bukan sebagai manusia.
Itulah sebabnya ia tidak percaya pada takdir.
Tidak percaya pada pilihan.
Ia percaya pada kekuasaan.
"They say power is a curse passed from father to son.""Maybe. But I will carry it better. And when it’s time—I’ll make sure he sees me smile while I take it from his hands."
.

AFFILIATES.

NAME Bumanthara, Bagas
AGE 61
FACECLAIM Cho Hanchul
Papa, tba

NAME Suryawijaya, Helena
AGE 59
FACECLAIM Kim Sungryung
Mama, tba

NAME Bumanthara, Banyu Altheon
AGE 29
FACECLAIM Song Kang
adik bungsu, tba

NAME Matthijs, Ethan
AGE 34
FACECLAIM Choi Minho
sahabat karib, tba

NAME Alonsa, Klara
AGE 30
FACECLAIM Krystal Jung
calon isteri, tba

NAME Hutama, Diana
AGE 31
FACECLAIM Son Naeun
cinta pertama, mantan pacar, NPC